Selasa, 27 Oktober 2009

Bencana Ohhh Bencana


Bencana, bencana, bencana dan lagi-lagi bencana. Mungkin ini bahasa-bahasa alam yang sering kita dengar di abad 21 ini. Ada bencana tsunami, gunung meletus, tanah longsor, badai Katrina, pesawat jatuh, tabrakan kereta api, bom meledak, yang kesemuanya menelan tidak sedikit nyawa. Air mata, kesedihan, dukacita, protes, tidak puas, menyalahkan itulah sebagian sahabat-sahabat kehidupan yang kerap datang di belakang bencana.

Tentu mudah dipahami kenapa bencana ditemani kesedihan, dukacita dan airmata. Karena ada kehilangan harta, kehilangan orang-orang tercinta, penyakit yang bergentayangan di sana-sini, masa kini dan masa depan yang tiba-tiba jadi kelabu. Sehingga tentu manusiawi sekali kalau kemudian bencana menciptakan banyak trauma dalam banyak kehidupan.

Aceh dengan tsunaminya di tahun 2004, New Orleans dengan topan Katrinanya di tahun 2005 memang tidak segera pulih. Bangunan, jalan, tempat ibadah memang bisa segera kembali dalam waktu beberapa tahun. Namun trauma-trauma jiwa manusia, ia memerlukan waktu lebih lama. Benar kata sejumlah sahabat yang lagi berduka akibat bencana, kata-kata, cerita memang lebih mudah. Namun mengalami langsung kesedihan mendalam akibat bencana, sungguh tidak mudah diungkapkan sepenuhnya dengan kata-kata manusia.

Sehingga tentu layak direnungkan pendapat seorang penulis muda asli Inggris bernama Robert Holden yang menulis Success Intelligence: ”The major challenges we face today require not more effort, but more wisdom”. Tantangan kekinian bukannya memerlukan banyak usaha dan upaya, melainkan lebih banyak kebijaksanaan. Di depan bencana-bencana alam, manusia lengkap dengan ipteknya seperti tidak berdaya. Dalam ketidakberdayaan seperti ini, upaya dan usaha membuat manusia seperti seseorang yang sedang berada di tengah lumpur rawa.-rawa, semakin keras ia berusaha semakin cepat ia mati ditenggelamkan lumpur.

Ini bedanya upaya dan usaha yang menggarisbawahi bekerja keras di satu sisi, dengan kebijaksanaan di lain sisi. Dalam bahasa-bahasa kebijaksanaan, usaha dan kerja keras tentu perlu. Namun kerja keras bersanding rapi dengan keikhlasan. Kerja keras dan keikhlasan ibarat kaki kiri dengan kaki kanan. Keduanya saling melengkapi dalam berjalan.

Dalam konteks bencana, ketika bencana terjadi ia menjadi semacam ujian keikhlasan bagi yang mengalaminya. Ujiannya tidak melalui kata-kata manusia yang kering dan dangkal, melainkan melalui pengalaman keseharian yang mendalam. Mirip dengan ujian di sekolah, begitu lulus maka muridnya naik kelas. Hal yang serupa juga terjadi dalam kehidupan manusia. Begitu bencana lewat, ia bisa melihat langsung berapa nilai keikhlasan yang layak ia sandang ketika itu. Dan hanya persoalan waktu, begitu kematian menjemput, tinggi-rendahnya nilai keihklasan terakhirlah yang menentukan kualitas perjalanan kemudian. Salah satu manusia mengagumkan yang pernah sampai di sini bernama Lao Tzu, perhatikan salah satu penemuannya setelah berjalan jauh di jalan-jalan kebijaksanaan: ”Knowing other is intelligence, knowing yourself is true wisdom”. Dan bencana berperan tidak kecil dalam membawa manusia pada kebijaksanaan.

Disamping memberi masukan tentang kualitas kebijaksanaan, bencana juga membuka jendela-jendela cinta. Berbicara mengenai mencintai, menyayangi, memaafkan memang mudah. Namun di tengah guncangan bencana, terlihat terang benderang seberapa lebar jendela-jendela cinta manusia terbuka. Ada memang yang saling menyalahkan. Namun sebagian orang justru kualitas saling berpelukannya semakin erat ketika bencana terjadi. Ada bagian-bagian cinta yang selama ini tertutup, kemudian terbuka justru karena mengalami bencana. Tidak hanya cinta dengan manusia, juga cinta akan alam. Tidak saja cinta dengan sesama, juga cinta akan Tuhan. Perhatikan apa yang pernah ditulis Sydney Harris: “The highest reward of love is not what we get for it but what you become by it”. Hadiah cinta yang tertinggi bukannya apa yang didapat, namun kita sedang dibuat seperti apa oleh cinta.

Dalam bahasa lain, bencana yang membukakan jendela-jendela cinta, tidak saja menghadiahkan sesuatu ke diri ini, ia juga sedang menunjukkan kalau cinta sedang membuat kita menjadi jiwa-jiwa yang lebih perkasa, lebih peka, serta tanda-tanda pertumbuhan jiwa lainnya. Mungkin ada sahabat yang masih belum terima, kalau dari sini ada yang menyarankan berterimakasih pada bencana. Dan layak hal ini dimaklumi. Dan mungkin benar pendapat banyak sahabat-sahabat Sufi, kalau tidak ada satu pun kejadian (dari yang amat kecil sampai dengan yang sangat besar) yang tidak membawa sidik-sidik jari Tuhan.

Dalam terang pemahaman sekaligus kepekaan seperti ini, kini terpulang kepada rejeki hidup masing-masing. Ada memang manusia yang sudah berulang-ulang dihajar bencana tetapi belum menemukan sidik jari Tuhan. Ada juga manusia yang dicoba amat sedikit bencana dibandingkan manusia kebanyakan, namun ia sudah melihat sidik-sidik jari Tuhan di sana-sini. Dan tidak disarankan untuk saling menghakimi dalam hal ini. Yang belum melihat sedang bertumbuh, yang sudah melihat juga sedang bertumbuh. Yang jelas, Humberto Maturana pernah menulis dalam sebuah paper: “Love broadens vision, love enables creativity, and love expands intelligence”. Dengan saling mencintai dan menghormati manusia bisa memperluas dan memperbaiki visi, kreativitas sekaligus kecerdasan akan kehidupan. Belajar dari sini, di Timur ada sahabat-sahabat yang layak dihormati yang hanya mengenal sebuah doa setiap harinya: semoga semua berbahagia! *****

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons